"Ini adalah satu hari yang paling bersejarah dalam hidup saya."
Washington (ANTARA News/Reuters) - Pemimpin oposisi dan demokrasi Myanmar, Aung San Su Kyi, bertemu Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, di Gedung Putih dan menerima tanda penghargaan tertinggi Kongres AS, Rabu waktu setempat (Kamis WIB).

Suu Kyi, yang sedang melakukan kunjungan ke AS, berembuk dengan Obama di Ruang Oval Gedung Putih setelah dijamu para anggota Kongres AS di gedung Capitol, di mana dia diberikan tanda pengharagaan medali emas (Gold Medal) atas perjuangannya yang lama membela demokrasi di satu negara yang dikuasai para jenderal sejak 1962.

"Ini adalah satu hari yang paling bersejarah dalam hidup saya, berada di satu rumah yang satu, satu sebuah rumah bersama menyambut seorang asing dari satu daratan yang jauh," katanya.

Ia menimpali, "Di antara semua yang hadir ini ada beberapa orang yang pernah saya lihat ketika saya berada dalam tahanan rumah, dan beberapa orang saya lihat setelah saya dibebaskan dari tahanan rumah."

Suu Kyi mengaku mendapat dukungan kuat dari para anggota Kongres AS selama 17 tahun dalam tahanan rumah.

Gedung Putih bersedia melakukan pertemuan pertama antara dua peraih hadiah Nobel Perdamaian itu (Suu Kyi dan Obama), walaupun biasanya tempat itu disediakan untuk para pemimpin negara asing.

Tetapi, pihak Gedung Putih agaknya memperlakukan secara hati-hati agar pemerintah Myanmar tidak tersinggung dengan melakukan pertemuan tetap berada di tingkat rendah. Para wartawan foto diizinkan sebentar mengabadikan pertemuan itu, namun melarang kamera televisi atau wartawan cetak masuk.

Obama dan Suu Kyi hanya bertemu selama setengah jam. Obama, yang berusaha dapat dipilih kembali dalam pemilu November 2012 bertemu pada hari kedua lawatan Suu Kyi ke AS.

Pertemuan itu dapat membantu menyoroti apa yang banyak pihak lihat sebagai satu keberhasilan kebijakan luar negeri pemerintah Obama dalam membantu mendorong para jenderal Myanmar menuju pada perubahan yang demokratis.

Presiden Obama menyatakan kekagumannya atas keberanian Suu Kyi dan pengorbanannya dalam mempelopori demokrasi sekaligus hak asasi manusia (HAM) selama puluhan tahun, demikian pengumuman Gedung Putih.

Obama menyambut baik transisi demokratis negara Asia itu, dan kemajuan yang dibuat Partai Liga Nasional untuk demokrasi pimpinan Suu Kyi dan Presiden Thein Sein.

Pada acara penganugerahan tanda penghargaan Kongres AS, baik Suu Kyi maupun Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, menyambut baik kehadiran seorang menteri yang mewakil Presiden Myanmar dan Duta Besar Myanmar di Washington.

"Tugas ini dimungkinkan karea adanya tindakan-tindakan reformasi yang diprakarsai Presiden Thein Sein," kata Suu Kyi dalam pidato sambutannya.

AS pada hari yang sama mencabut snksi-sanksi yang memblokir aset Thein Sein dan ketua parlemen Myamar, serta pelarangan perusahaan-perusahaan AS melakukan urusan dengan mereka.

Thein Sein dan ketua parlemen Myanmar, Shwe Mann, yang pernah menjadi anggota-anggota junta militer mendapat pujian internasional karena melakukan reformasi dalam 18 bulan sejak militer menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil.

Thein Sein akan megunjungi New York untuk menghadiri sidang tahunan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan depan, di mana ia diperkirakan akan bertemu dengan para pejabat AS.

Para anggota Kongres AS dan pejabat yang menyambut Suu Kyi menyatakan kagum lantaran sosok perempuan tersebut berhasil melakukan perjalanan dari tahanan rumah ke Washington.

"Saya telah mengharapkan, tetapi saya tidak yakin saya mengharapkan bahwa pada satu hari saya mendapat penghargaan sebagai pahlawan oleh Kongres Amerika Serikat," katanya,

Hillary mengatakan, mengharapkan perubahan besar akan tiba di negara yang dulu bernama Burma, tetapi tidak tahu berapa lama hal itu akan terwujud.

Suu Kyi meraih hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 atas usahanya memelopori demokrasi melawan junta militer Myanmar yang mengenakan tahanan rumah terhadapnya selama bertahun-tahun. Dia terakhir tinggal di AS tahun 1970-an sebagai karyawan PBB.

Obama meraih hadia Nobel Perdamaian pada 2009 pada awal masa jabatannya, yang menurut para pengeritik tanpa ada kebijakan luar negeri konkret yang berhasil dilakukannya.
(Uu.H-RN/C003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2012